Dalam
hubungan antara jenis pasangan terutama yang sedang dilanda asmara,
fenomena cinta sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dirasakan. Nah,
ketika mata bertemu pandang yang berlanjut pada persentuhan tangan,
biasanya orang akan merasakan gejala yang sama:- darah mengalir lebih
cepat, semburat merah muncul di pipi, peluh dingin membasahi telapak
tangan, bahkan menghela napas pun jadi terasa berat. Dalam situasi
seperti inilah hati bagaikan bergolak, disesaki oleh gelora cinta.
Menurut Helen Fischer
seorang “peneliti cinta” di Universiti Boston, Amerika Serikat ini
lagi, reaksi romantik seperti itu timbul kerana kerja sejumlah hormon
yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora
cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh berbeda dengan reaksi kimia.
Malangnya, senyawa antara hormon ini sangat dekat. Dan, berdasarkan
teori Four Years Itch yang diumumkannya, daya tahan gelora cinta itu
hanya mencapai empat tahun saja. Setelah itu, hancur tanpa kesan lagi.
Sebagaimana yang terjadi pada sebuah reaksi kimia, wujudnya tidak akan
pernah kembali seperti semula.
Sesungguhnya pula,
perasaan yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi boleh
dianalisis secara kimia. Jadi, prosesnya dimulakan pada saat mata saling
bertemu. Tangan yang bersentuhan bagaikan dialiri arus eletrik.
Fenomena ini sudah pasti kerana tindakbalas hormon tertentu yang ada di
otak, mengalir ke seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil
sekalipun. Inilah yang membuat wajah memerah, dan timbul perasaan
“melayang”. Aliran darah yang demikian cepat membuat bernafas pun
menjadi berat.
Jika dipikirkan,
bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang sedang jatuh
cinta? Boleh dijelaskan sebagai berikut. Ketika hubungan mata sedang
berlangsung, tertanam suatu `kesan’. Inilah fase pertama.
Otak bekerja bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data, dan
menserasikannya dengan sejumlah data yang pernah direkam sebelumnya. Ia
mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau
yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya
rasa romantik.
Fasa kedua, yaitu munculnya
hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi otak. Inilah sebabnya
ketika terkesan oleh seseorang, secara automatik senyum pun
dilontarkan. Spontan, pusat PEA pun aktif bekerja ketika “wisel” mula
diaktifkan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam
saraf manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi
pemicu timbulnya gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektiviti
hormon-hormon ini mula berkurang.
Fasa ketiga yaitu ketika gelora
cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins
, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak.
Sebagaimana efek yang ditimbulkan dadah dan sebagainya, saat inilah
tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Teori tentang cinta
pernah popular sekitar 9 hingga 10 tahun yang lalu. Lebih tepat sekali,
ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi
popular. Selanjutnya, teori ini kian berkembang dan mula
dihubung-hubungkan dengan bidang ilmu lainnya. Kemudianya, ada juga
teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat, membandingkan,
dan mengamati struktur otak orang gila misalnya, atau psikologi dan
fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku manusia dan pengaruh
hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama dengan emosi. Kalau emosi
seringkali ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus
menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta.
Terutama ketika terjadi cinta pada pandang pertama, ada getaran dalam
tubuh. Tapi, apakah ya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon
dalam tubuh?
Diane Lie seorang
psikologi sekaligus peneliti rambang pada sebuah Universiti di Beijing
membentangkan teorinya, meskipun urusan cinta boleh dijelaskan secara
kimia, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh
aktivitas hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak
selalu berarti bila kadar hormon berkurang, berarti getarannya pun
berkurang.
Memang, pemacu semburan
cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama.
Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya
efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun
bagaikan imun, `kebal’ terhadap si pemicu gelora.
Akan tetapi, sekali
lagi, masih menurut Diane, proses jatuh cinta itu tidak semata-mata
hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya. Apalagi dalam proses
orang bercinta hingga menikah, banyak faktor sosial lainnya yang
menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa jawa
dipanggil versi Tresno Jalaran Soko Kulino” yang bermaksud datangnya
cinta karena pertemuan yang berulang-ulang “. Demikian pula ketika kita
marah dan ingin memaki orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus,
namun tetap ada faktor lain yang ikut menentukanya.
Manusia merupakan
makhluk yang paling kompleks. Jika proses reaksi kimia terjadi pada
hewan, barulah teori rendahnya daya tahan PEA ini boleh dipercayai.
Jadi, teori Helen Fiscer yang disebut Four Years Itch juga boleh
dipatahkan.
Pendeknya, teori PEA
dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan teori Four Years
Itch oleh Fischer yang lingkaran penelitiannya mencakup 62 jenis kultur
ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.
Fischer, yang juga
penulis buku ” Anatomy of Love “, menemukan betapa angka
perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia
empat tahun. Kalaupun masa empat tahun itu telah dilalui, katanya,
kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat
perkawinan mereka boleh bertahan hingga empat tahun lebih.
Jadi, kalau kita main
kira-kira, rasanya boleh dikatakan seru juga. Misalnya, masa bercinta
telah dilalui tiga tahun, bererti kesempatan untuk boleh mempertahankan
gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang
terjadi ketika masa perkawinan menjejak tahun kedua, ketiga dan
seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah ranah sama sekali?
Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa bercinta lebih dari
enam tahun?
Menurut pandangan
Diane, dalam hubungan suami istri atau bercinta, selain cinta, ada
hubungan lain yang sifatnya friendship, (persahabatan). Kalau setelah
beberapa waktu cinta itu menipis - mungkin kerana tersisihkan hal-hal
lain, misalnya karena rutin yang dilakukan adalah hal-hal yang sama
juga setiap hari, lalu segalanya jadi terasa membosankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar